Miangas adalah salah satu pulau yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar Indonesia sehingga rawan masalah perbatasan, terorisme serta penyelundupan. Pulau ini memiliki luas sekitar 3,15 km². Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa adalah sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Pulau Miangas memiliki jumlah penduduk sebanyak 678 jiwa (2003) dengan mayoritas adalah Suku Talaud. Perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi dikarenakan kedekatan jarak dengan Filipina. Bahkan beberapa laporan mengatakan mata uang yang digunakan di pulau ini adalah peso.
Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677. Filipina sejak 1891 memasukkan Miangas ke dalam wilayahnya. Miangas dikenal dengan nama La Palmas dalam peta Filipina. Indonesia kemudian bereaksi dengan mengajukan masalah Miangas ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Mahkamah Arbitrase Internasional dengan hakim Max Huber pada tanggal 4 April 1928 kemudian memutuskan Miangas menjadi milik sah Indonesia. Filipina kemudian menerima keputusan tersebut.
Kabupaten Kepulauan Talaud, yang mencakup Pulau Miangas, dijuluki Bumi Porodisa. Artinya, surga yang tertinggal di Bumi. Namun, gempa berkekuatan 7,4 skala Richter meluluhlantakkan wilayah kepulauan di Sulawesi Utara itu pekan lalu. Kini warganya makin jauh dari ”surga” yang dibayangkan.Bahan bakar minyak yang menjadi salah satu sumber kehidupan selalu saja hilang diikuti melambungnya harga bahan pokok. Dalam setahun kehidupan normal warga hanya delapan bulan. Sisanya kondisi anomali karena warga harus berjibaku dengan gelora laut dan ombak ganas yang biasanya mengisolasi pulau-pulau kecil di sekitarnya.Dalam situasi normal, warga Pulau Kabaruan membeli 1 liter bensin Rp 8.500 dan minyak tanah Rp 4.500. Dalam kondisi terbatas, harga bensin bisa mencapai Rp 15.000 per liter. ”Kalau beras, harga sudah murah kalau Rp 6.000 sampai Rp 8.000 per liter,” ujar Ansiga (64), warga setempat. Harga beras itu bisa jadi tergolong normal karena warga sendiri lebih memilih mengonsumsi ubi dan pisang mengingat keterbatasan uang.Bupati Kepulauan Talaud Elly Lasut telah secara khusus berbicara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta depo Pertamina, pertengahan 2008. Namun, sampai kini permintaan itu belum terealisasi.Pahitnya kehidupan warga Kepulauan Talaud berbanding lurus dengan tertinggalnya kawasan setempat dibandingkan dengan wilayah daratan Sulawesi Utara dalam beberapa dekade. Di samping bahan bakar minyak, masyarakat juga kesulitan mendapatkan pasokan listrik. Warga Kecamatan Kakorotan, misalnya, untuk mendapatkan minyak tanah, solar, dan premium di Melonguane—ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud–harus menghabiskan waktu empat jam perjalanan dengan perahu motor.”Sejak 600 tahun lalu hingga sekarang, listrik tak pernah ada di kampung kami,” ujar Alfrido Lalinsa, warga Kakorotan yang eksodus dan menjadi guru di Manado.Pernyataan Alfrido mungkin sekadar candaan, tetapi kenyataan kehidupan di Kakorotan tanpa listrik dan tanpa premium membuat warga lari meninggalkan kampungnya. Mereka biasanya mencari penghidupan di Manado atau Filipina selatan.Tokoh masyarakat Kakorotan, Yahya Talau, mengatakan, jumlah warga di Pulau Kakorotan sekitar 400 jiwa. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan warga Kakorotan di perantauan yang mencapai 700 jiwa.”Kami disebut beranda Indonesia, tetapi hidup kami kumuh, tak terurus oleh pemerintah pusat. Apa perut kami harus selalu ke Filipina,” kata Engel Tatibi, anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud.Data dari Departemen Pertahanan menunjukkan, sedikitnya ada 16 pulau terluar milik RI berbatasan langsung dengan Filipina. Pulau-pulau itu tersebar di Laut Sulawesi, Laut Mindanao, Laut Filipina, Laut Halmahera, dan Samudra Pasifik.Di laut Sulawesi terdapat Pulau Maratua, Sambit, Lingian, Salando, Dolangan, dan Bangkit. Di Laut Mindanao terdapat Pulau Kawio, Marore, dan Batubawaikang. Di Laut Filipina terdapat Pulau Miangas, Marampit, Intata, dan Kakarutan. Di Laut Halmahera terdapat Pulau Jiew. Di Samudra Pasifik terdapat Pulau Budd dan Fani.Di atas kertasMungkin sudah ratusan seminar dilakukan orang Jakarta dan Manado tentang wilayah perbatasan, tetapi itu hanya di atas kertas. ”Masih banyak pulau yang tertinggal. Rakyatnya pun tak mengenyam pendidikan yang layak,” katanya.Di sejumlah pulau, sekolah tertinggi hanya sampai tingkat SMP. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, warga harus ke Melonguane. Mereka harus menempuh perjalanan laut selama 4-5 jam dengan perahu motor. Itu pun jika kondisi laut tenang. Jika cuaca buruk sehingga menyebabkan gelombang laut meninggi 3-4 meter, mereka terpaksa libur dulu.Belakangan, orang Jakarta ramai membicarakan Talaud dan Miangas. Namun, itu sebatas wacana. Buktinya, bantuan gempa bumi dari pemerintah pusat hingga Minggu kemarin belum memadai.Dana alokasi khusus melalui APBD tahun 2009 disalurkan pemerintah pusat kepada Kabupaten Kepulauan Talaud justru turun Rp 50 miliar dibandingkan APBD tahun 2008 sekitar Rp 360 miliar. Pemerintah berdalih efisiensi karena kondisi krisis ekonomi.Menurut Tatibi, peristiwa gempa bumi di Kepulauan Talaud merupakan contoh kasus keseriusan pemerintah pusat menilik kehidupan warga.Untung Sarosa, Direktur Tanggap Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan, pemerintah pusat menyediakan dana Rp 200 juta untuk kondisi darurat, tetapi belum disalurkan.Inilah Kepulauan Talaud dengan 1.001 masalah.
Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677. Filipina sejak 1891 memasukkan Miangas ke dalam wilayahnya. Miangas dikenal dengan nama La Palmas dalam peta Filipina. Indonesia kemudian bereaksi dengan mengajukan masalah Miangas ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Mahkamah Arbitrase Internasional dengan hakim Max Huber pada tanggal 4 April 1928 kemudian memutuskan Miangas menjadi milik sah Indonesia. Filipina kemudian menerima keputusan tersebut.
Kabupaten Kepulauan Talaud, yang mencakup Pulau Miangas, dijuluki Bumi Porodisa. Artinya, surga yang tertinggal di Bumi. Namun, gempa berkekuatan 7,4 skala Richter meluluhlantakkan wilayah kepulauan di Sulawesi Utara itu pekan lalu. Kini warganya makin jauh dari ”surga” yang dibayangkan.Bahan bakar minyak yang menjadi salah satu sumber kehidupan selalu saja hilang diikuti melambungnya harga bahan pokok. Dalam setahun kehidupan normal warga hanya delapan bulan. Sisanya kondisi anomali karena warga harus berjibaku dengan gelora laut dan ombak ganas yang biasanya mengisolasi pulau-pulau kecil di sekitarnya.Dalam situasi normal, warga Pulau Kabaruan membeli 1 liter bensin Rp 8.500 dan minyak tanah Rp 4.500. Dalam kondisi terbatas, harga bensin bisa mencapai Rp 15.000 per liter. ”Kalau beras, harga sudah murah kalau Rp 6.000 sampai Rp 8.000 per liter,” ujar Ansiga (64), warga setempat. Harga beras itu bisa jadi tergolong normal karena warga sendiri lebih memilih mengonsumsi ubi dan pisang mengingat keterbatasan uang.Bupati Kepulauan Talaud Elly Lasut telah secara khusus berbicara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta depo Pertamina, pertengahan 2008. Namun, sampai kini permintaan itu belum terealisasi.Pahitnya kehidupan warga Kepulauan Talaud berbanding lurus dengan tertinggalnya kawasan setempat dibandingkan dengan wilayah daratan Sulawesi Utara dalam beberapa dekade. Di samping bahan bakar minyak, masyarakat juga kesulitan mendapatkan pasokan listrik. Warga Kecamatan Kakorotan, misalnya, untuk mendapatkan minyak tanah, solar, dan premium di Melonguane—ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud–harus menghabiskan waktu empat jam perjalanan dengan perahu motor.”Sejak 600 tahun lalu hingga sekarang, listrik tak pernah ada di kampung kami,” ujar Alfrido Lalinsa, warga Kakorotan yang eksodus dan menjadi guru di Manado.Pernyataan Alfrido mungkin sekadar candaan, tetapi kenyataan kehidupan di Kakorotan tanpa listrik dan tanpa premium membuat warga lari meninggalkan kampungnya. Mereka biasanya mencari penghidupan di Manado atau Filipina selatan.Tokoh masyarakat Kakorotan, Yahya Talau, mengatakan, jumlah warga di Pulau Kakorotan sekitar 400 jiwa. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan warga Kakorotan di perantauan yang mencapai 700 jiwa.”Kami disebut beranda Indonesia, tetapi hidup kami kumuh, tak terurus oleh pemerintah pusat. Apa perut kami harus selalu ke Filipina,” kata Engel Tatibi, anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud.Data dari Departemen Pertahanan menunjukkan, sedikitnya ada 16 pulau terluar milik RI berbatasan langsung dengan Filipina. Pulau-pulau itu tersebar di Laut Sulawesi, Laut Mindanao, Laut Filipina, Laut Halmahera, dan Samudra Pasifik.Di laut Sulawesi terdapat Pulau Maratua, Sambit, Lingian, Salando, Dolangan, dan Bangkit. Di Laut Mindanao terdapat Pulau Kawio, Marore, dan Batubawaikang. Di Laut Filipina terdapat Pulau Miangas, Marampit, Intata, dan Kakarutan. Di Laut Halmahera terdapat Pulau Jiew. Di Samudra Pasifik terdapat Pulau Budd dan Fani.Di atas kertasMungkin sudah ratusan seminar dilakukan orang Jakarta dan Manado tentang wilayah perbatasan, tetapi itu hanya di atas kertas. ”Masih banyak pulau yang tertinggal. Rakyatnya pun tak mengenyam pendidikan yang layak,” katanya.Di sejumlah pulau, sekolah tertinggi hanya sampai tingkat SMP. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, warga harus ke Melonguane. Mereka harus menempuh perjalanan laut selama 4-5 jam dengan perahu motor. Itu pun jika kondisi laut tenang. Jika cuaca buruk sehingga menyebabkan gelombang laut meninggi 3-4 meter, mereka terpaksa libur dulu.Belakangan, orang Jakarta ramai membicarakan Talaud dan Miangas. Namun, itu sebatas wacana. Buktinya, bantuan gempa bumi dari pemerintah pusat hingga Minggu kemarin belum memadai.Dana alokasi khusus melalui APBD tahun 2009 disalurkan pemerintah pusat kepada Kabupaten Kepulauan Talaud justru turun Rp 50 miliar dibandingkan APBD tahun 2008 sekitar Rp 360 miliar. Pemerintah berdalih efisiensi karena kondisi krisis ekonomi.Menurut Tatibi, peristiwa gempa bumi di Kepulauan Talaud merupakan contoh kasus keseriusan pemerintah pusat menilik kehidupan warga.Untung Sarosa, Direktur Tanggap Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan, pemerintah pusat menyediakan dana Rp 200 juta untuk kondisi darurat, tetapi belum disalurkan.Inilah Kepulauan Talaud dengan 1.001 masalah.
Di manakah surga itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar